Kekayaan Ukiran Minangkabau yang Menghiasi Istana Pagaruyung

Bagi kamu yang sedang merencanakan wisata ke Sumatera Barat, Istana Pagaruyung tidak bisa dilewatkan karena objek wisata ini memiliki landscape view yang menarik untuk dinikmati. Kekayaan nilai pengetahuan di dalamnya juga sayang untuk dilewatkan karena istana yang memiliki tiga lantai ini memiliki banyak peninggalan yang bisa dijadikan sumber belajar terutama dalam memahami kebudayaan Minangkabau.

Replika Istana Pagaruyung

Istana Pagaruyung terletak di kecamatan Tanjung Emas, kota Batusangkar, Sumatera Barat. Istana yang sekarang bisa dinikmati bukanlah istana yang asli melainkan replika dari istana yang asli yang dahulu berlokasi di atas bukit Batu Patah. Replika ini dibangun karena istana yang asli dibakar saat terjadi kerusuhan pada saat perang paderi tahun 1804, selanjutnya istana yang telah diperbaiki kembali mengalami kebakaran pada tahun 1966. Akan tetapi tahun 1976 istana kembali didirikan namun tidak di tempat asalnya melainkan di kecamatan Tanjung Emas dan tahun 1970-an istana menjadi objek wisata yang boleh dikunjungi oleh wisatawan. 

Istana Pagaruyung yang aslinya berada di atas bukit Batu Patah dahulu didirikan oleh Adityawarman pada 1347-1375. Adityawarman adalah panglima perang Majapahit yang adalah keturunan dari kerajaan Dharmasraya (Melayu) yang sejarahnya tertulis di prasasti Kubu Rajo, prasasti Pagaruyung, dan prasasti Saruaso.

Istana dengan Ukiran yang Kaya akan Nilai Kebudayaan

Istana dengan total 72 tonggak serta 11 gonjong atap ini tidak hanya terlihat mewah dari luar, namun dinding bangunan dipenuhi lebih dari 200 motif ukiran Minangkabau yang menggambarkan kekayaan alam Minang mulai dari hewan dan tumbuhan yang mengandung nilai-nilai hubungan antara manusia dengan alam. Tidak hanya di dinding, ukiran juga dipahatkan di bagian-bagian lain seperti pada pintu dan jendela istana. Ukiran demi ukiran tampak dipahat dengan seksama dan cermat. Ukiran melambangkan simbol-simbol alam serta mengandung nilai-nilai dan ajaran semesta. Ukiran-ukiran ini diwariskan oleh nenek moyang masyarakat Minangkabau kepada generasi penerusnya sehingga falsafah alam dan budaya Minangkabau ini dihadirkan di dinding-dinding Istana Pagaruyung. Berikut tiga contoh ukiran beserta maknanya.

Ukiran Jalo Taserak Gambar: buku Ragam Hias Minangkabau oleh Drs. Risman Marah

Langit-langit istana didominasi oleh ukiran yang berukuran besar, salah satu ukiran yang berada di di bagian ventilasi adalah ukiran jalo taserak (jala tersebar). Jalo taserak adalah nama alat penangkap ikan. Fungsi dari alat ini adalah sebagai penjaring ikan sehingga bentuk dari ukiran ini adalah lingkaran relung spiral yang dapat menjadi jaring atau ranjau. Ukiran ini memiliki makna bahwa adanya garis pemisah antara yang baik dan buruk yang perlu diketahui di dalam kehidupan. Selain itu ukiran ini juga melambangkan adanya sistem pemerintahan Datuk Parpatih Nan Sabatang yang adil dalam mengadili masyarakat yang sedang melanggar hukum. Dalam prosesnya sang Datuk akan mengumpulkan data yang kemudian ia pilah terlebih dahulu sebelum mengetahui siapa yang sebenarnya benar dan bersalah.

Ukiran Saluak Laka Gambar: buku Ragam Hias Minangkabau oleh Drs. Risman Marah

 

Saluak laka ‘jalinan lidi atau rotan’ adalah sejenis anyaman dari rotan yang biasanya digunakan sebagai penadah belanga atau periuk. Ciri fisik dari ukiran ini bentuknya seperti belah ketupat yang disusun menjadi satu. Berdasarkan ciri fisik inilah yang membuat ukiran ini bermakna bahwa suatu hubungan kekerabatan yang saling berkaitan erat antara yang satu dengan lainnya mampu membangun kesatuan hubungan yang kuat dan utuh.

Ukiran Itiak Pulang Patang Gambar: buku Ragam Hias Minangkabau oleh Drs. Risman Marah

Itiak pulang patang (itik pulang petang) menggambarkan adanya sekelompok itik yang sedang berjalan di pematang sawah dan sedang menuju ke kandang pada sore hari. Gerombolan itik yang berjalan biasanya akan mengikuti induk rombongannya. Biasanya jika di antara mereka ada yang jatuh maka yang lain pun akan menurut. Hal ini dalam adat Minangkabau disebut sebagai bak itiak jatuah ka tabiang (seperti itik jatuh ke tebing) yang melambangkan bahwa adanya persatuan yang kokoh (seia sekata). 

 

Referensi:

Siat, Dra. Hasni, dkk. (1998/1999). Ukiran Tradisional Minangkabau. Padang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan. 

Khairuzzaky. (2018). Kajian Struktur Ragam Hias Ukiran Tradisional Minangkabau pada Istano Basa Pagaruyung. Titik Imaji 1(1), 54-67.

Marah, Drs. Risman. (1987/1988). Ragam Hias Minangkabau. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Shalika, Mayang Putri. (2020). Makna Ornamen Rumah Gadang Minangkabau: Kajian Semantik. Humanika 27(2), 70-81.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *