Medan adalah salah satu kota besar di Indonesia yang menjadi tempat tinggal bagi banyak etnis mulai dari Melayu, Batak dengan enam etnisnya (Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Angkola, Mandailing), Minang, Jawa, Aceh, Sunda, Gayo, Bali, Arab, Tamil, dan Tionghoa. Masyarakat lokal dan pendatang bersama-sama membangun kota Medan hingga hari ini. Jika berbicara tentang Tionghoa, maka masyarakat Tionghoa di Medan memiliki kontribusi yang nyata untuk pembangunan kota, salah satu bukti nyata adalah hadirnya pecinan yang menyimpan banyak aspek historis. Keunikan salah satu jejak peninggalan masyarakat Tionghoa di Medan adalah rumah Tjong A Fie.
Sosok Dermawan yang Mendukung Pembangunan Kota Medan
Tjong A Fie adalah pebisnis kelahiran Guangdong, Tiongkok pada tahun 1860 dan wafat di Medan pada tahun 1921. Ia adalah sosok yang lahir dari keluarga sederhana yang pernah meninggalkan bangku pendidikan demi membantu perekonomian keluarganya dengan menjaga tokoh ayahnya. Tidak cukup mendapatkan pendidikan formal tidak membuatnya patah semangat, justru Tjong A Fie adalah sosok yang cerdas dalam hal berdagang. Pada 1875 ia mengadu nasib ke Indonesia tepatnya kota Medan. Sebelum ia ke Medan, kakaknya, Tjong Yong Hian telah lebih dahulu menuju Medan lima tahun lebih cepat dibanding Tjong A Fie.
Berkat kegigihannya dalam bekerja, ia berhasil menjadi pebisnis yang sukses. Ia memiliki peran penting dalam proses pertumbuhan dan pembangunan Sumatera Timur terutama kota Medan. Tjong A Fie adalah seorang mayor yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda. Pangkat majoor de chineezen atau kepala daerah atau wilayah dijalankan oleh Tjong A Fie untuk mengurus dan meningkatkan keamanan di lingkungan komunitas masyarakat Tionghoa serta mengurus masalah-masalah yang muncul di dalam komunitas. Ia kerap menjadi mediator jika terjadi ketegangan di antara buruh dan pimpinan atau pengusaha perkebunan di Sumatera Utara.
Selalu Menyebarkan Nilai-Nilai Toleransi di Medan
Ia dipilih sebagai mayor karena memiliki kepribadian yang toleran serta selalu menyebarkan nilai-nilai multikultural di dalam masyarakat. Walaupun ia beretnis Tionghoa, ia tidak menjadikan identitas tersebut menjadi halangan untuk tetap terus berbuat baik kepada siapapun. Tjong A Fie kerap membantu pembangunan kota Medan seperti memberikan dana untuk pembangunan Istana Maimun, Mesjid Raya Al Mashun, Kuil Buddha Cina di Brayan, Gereja HKBP di jalan Uskup Agung Sugiopranoto Medan, dan beberapa tempat lainnya.
Sebagai bagian dari masyarakat multikultural, Tjong A Fie mendirikan rumah kediaman dengan menggabungkan unsur kebudayaan Tionghoa, Melayu, dan Eropa pada tahun 1895. Rumah yang berdiri di atas tanah seluas 6000 meter persegi, berlantai dua, serta memiliki 40 ruang tersebut berada di kawasan Kesawan yang terkenal menjadi pusat perdagangan sejak abad ke-20. Ukiran kayu pada dinding rumah dirancang dengan atap khas ala bangunan rumah di Tiongkok sedangkan warna kuning cerah menjadi warna yang dominan dipakai di rumah khas Melayu. Tiang-tiang penyangga, lampu hias, serta meja makan menggunakan dekorasi khas masyarakat Eropa. Rumah ini menjadi representasi dari hadirnya Tjong A Fie sebagai masyarakat Tionghoa yang berada di lingkungan Melayu dan memiliki hubungan baik dengan masyarakat bangsa Eropa yang dahulu masih mendiami kota Medan. Kini rumah Tjong A Fie menjadi museum dan cagar budaya yang dikelola oleh pemerintahan provinsi Sumatera Utara sejak 2015 dan dibuka untuk wisatawan.
Referensi:
Agustono, Budi., dkk. (2020). Penanaman Nilai-Nilai Multikulturalisme Melalui Sejarah Tjong A Fie di Kota Medan Pada Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Komunikasi Universitas Harapan Medan. Logista 4(1), 49-56.
Rudiansyah., dkk. (2017). Unsur Akulturasi Budaya Pada Rumah Tjong A Fie di Kota Medan. Pantun Jurnal Ilmiah Seni Budaya 2(1), 44-53.
Bancin, Rostologi., dkk. (2024). Peran Tjong A Fie dalam Perkembangan Ekonomi dan Pendidikan di Kota Medan. Polyscopia 1(2), 52-56.
Simamora, Irma Yusriani., dkk. (2024). Analisis Perkembangan Rumah Tjong A Fie di Kota Medan. Jurnal Pendidikan Tambusai 8(1), 4890-4895.