Hilisimaetano adalah salah satu desa adat di selatan Pulau Nias yang masih memiliki warisan peninggalan megalitikum. Jika masyarakat Indonesia sudah akrab dengan lompat batu, maka kita akan mencoba melihat sisi lain yang belum banyak dilihat oleh masyarakat Indonesia yaitu kursi batu yang bentuknya unik karena menunjukkan adanya makna atau simbol-simbol status sosial.
Hari ini mungkin kita melihat kursi adalah sebuah tempat duduk buatan manusia yang fungsinya hanya sebatas tempat duduk. Atau mungkin jika kita melihat kursi batu peninggalan nenek moyang juga sebatas tempat duduk yang secara fungsi juga sama dengan kursi hari ini, hanya beda bahan material. Jika kita maknai lebih dalam, ada banyak peninggalan nenek moyang yang dibuat lebih dari sekadar fungsi harian namun juga dimaknai sebagai benda yang bermakna secara sosial maupun spiritual. Batu kursi kehormatan di Hilisimaetano adalah salah satu peninggalan megalitikum yang jejaknya masih bisa kita lihat dan maknai.
Kursi batu ini berkaitan dengan simbol kekuasaan dan kebangsawanan. Keberadaan kursi batu ini berkaitan dengan status sosial seseorang di dalam masyarakat. Kreativitas dalam pembuatan kursi batu ini adalah salah satu ciri dari kehidupan masyarakat megalitik untuk berusaha membuat benda-benda yang lebih sophisticated (lebih maju) guna untuk mengangkat derajat leluhur mereka (Koestoro & Ketut 2007, 55). Kursi batu ini diperuntukkan untuk pemuka adat sebagai pemimpin musyawarah saat musyawarah berlangsung yang dihadiri oleh warga desa.
Kursi batu ini menunjukkan bahwa leluhur masyarakat Nias memiliki jiwa kesenian yang tinggi dalam memanfaatkan bahan-bahan alam di tanah Nias. Keterampilan masyarakat megalitik dihadirkan bersamaan dengan nilai-nilai spirit yang muncul lewat simbol-simbol. Meskipun batu megalitik diciptakan untuk kepentingan perorangan terutama untuk menunjukkan status sosialnya, batu megalitik tetap didirikan secara bersama-sama bahkan disertai dengan penyelenggaraan pesta untuk menyembelih babi dan sejumlah emas demi mengapresiasi kerja sama warga (Poesponegoro & Nugroho 2009, 447). Spirit warga dalam pembuatan kursi batu mengandung nilai gotong royong karena proses pembuatan batu membutuhkan tenaga banyak manusia.
Situasi kursi batu hari ini telah terkikis dan berlumut. Bentuk batu telah aus karena faktor alam. Simbol-simbol yang mengelilingi kursi tidak lagi begitu kelihatan. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya masih bisa ditelusuri lebih lanjut mengingat masih ada jejak digital dan penelitian sebelumnya serta upaya-upaya perawatan masih bisa dilakukan baik merawat fisik kursi batu maupun ingatan-ingatan pengetahuan yang ditinggalkan leluhur untuk anak cucunya.
Referensi:
Hidayati, Dyah. (2013). Fungsi dan Makna Simbolis Kursi Batu dan Replika Kursi Kayu Pada Masyarakat Nias. Berkala Arkeologi Sangkhakala, 16(1): 1-15.
Koestoro, Lucas Partanda., Wiradnyana, Ketut. (2007). Tradisi Megalitik di Pulau Nias. Medan: Balai Arkeologi Medan.
Mondes, Detours des. (2024). L’étrange trône d’Hilisimaetano. Diakses pada 15 Januari, dari
https://detoursdesmondes.typepad.com/dtours_des_mondes/asie-du-sud-est/
Schröder, Engelbertus Eliza Willem Gerards. (1917). Nias: Ethnographische, geographische en historische aanteekeningen en studiën. Leiden: N.v. boekhandel en drukkerij voorheen E.J. Brill