Rampogan Jawa: Tradisi Jawa yang Dilarang Pemerintah Belanda

“Gladiator” ala Jawa

Pernah menonton atau mendengar film ‘Gladiator’? Nah sekilas tradisi Rampogan Jawa mirip dengan gladiator di Kekaisaran Romawi. Tradisi rampogan sudah ada sejak abad ke-17 hingga ke-19 dan diperkirakan berkembang di zaman Kerajaan Mataram Islam. Pertunjukan adu harimau dengan hewan lainnya seperti harimau atau kerbau ini digelar di dua kerajaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. 

Tujuan diadakannya adu harimau ini guna untuk hiburan saat hadirnya tamu dari luar negeri, mengasah kemampuan para prajurit, dan melihat ampuh atau tidaknya senjata yang digunakan oleh prajurit. Tontonan ini tidak hanya sebatas tontonan melihat adu harimau namun para prajurit juga berupaya membunuh hewan yang sedang bertarung. Biasanya hewan yang dipilih adalah macan gembong (macan dengan bulu belang-belang) yang berukuran besar, sehat, dan kuat. Jika lawan hewan yang dipilih adalah kerbau, maka kerbau yang dipilih harus kerbau yang besar dan masih liar. Pemilihan ini bertujuan agar kekuatan kedua hewan seimbang. Akan tetapi pada akhirnya hanya ada dua pilihan yaitu harimau dan kerbau akan ‘menang atau kalah melawan lawannya’ atau ‘mati dibunuh oleh tombak’ milik prajurit saat para hewan sedang beradu. Lokasi pertunjukan ini biasanya diadakan di lokasi lapangan yang luas seperti jika di Yogyakarta, pertunjukan ini digelar di alun-alun Yogyakarta. 

Pertunjukan biasanya dimulai dengan datangnya raja, keluarga raja, dan para tamu. Mereka akan duduk berjajar di kanan raja untuk melihat rampogan. Situasi alun-alun akan dipenuhi oleh abdi dalem dan para prajurit yang siap untuk melemparkan tombak mereka ke macan. Acara hiburan ini menjadi ajang bagi para prajurit untuk memamerkan kemampuan mereka dalam menggunakan senjata tombak. Bahkan terdapat kejadian rampogan macan di Tumapel di mana setelah harimau mati terbunuh pun, para penonton masih ingin membuktikan kematian harimau dengan mengangkat harimau dengan seutas tali, menyerang, lalu menanduknya kembali dengan tombak. Kejadian rampogan ini sekilas berupaya untuk menggembirakan penonton. 

Foto: Wikimedia Commons/petermaas.nl

Menjadi Tradisi yang Dilarang oleh Pemerintahan Hindia Belanda

Awal mula dari pertunjukan ini memiliki dasar bahwa masyarakat mencoba membalas dendam kepada harimau karena harimau kerap membahayakan ternak dan masyarakat. Banyaknya kasus harimau di daerah Jawa Timur membuat (secara kultural) daerah Kediri, Tumapel, dan Blitar juga mengadakan rampogan macan. Adanya hubungan budaya antara Mataraman dengan penguasa Kediri membuat rampogan ini menjadi tradisi yang menyebar di masyarakat Jawa Timur. Di Kediri rampogan sendiri menjadi hiburan yang dipertontonkan saat hari raya Idul Fitri. 

Rampogan tidak bertahan lama karena terdapat larangan dari pemerintah Hindia Belanda untuk tidak mengadakan rampogan macan demi menjaga kelestarian harimau jawa pada tahun 1905. Walaupun tradisi tidak langsung berhenti di 1905 namun perlahan-lahan tradisi ini hilang demi kelestarian harimau Jawa. Rampogan juga sering disebut-sebut masyarakat sebagai salah satu penyebab dari punahnya harimau Jawa. 

 

Referensi:

Murtadhi, Muhammad Rosyid Ammar. (2018). Rampogan Macan di Kediri Tahun 1980-1925. AVATARA Jurnal Pendidikan Sejarah, 6(2), 307-316.

Karimah, Laila., Afiyanto, Hendra. (2022). Rampogan Macan: Simbolisme Perlawanan terhadap Kolonial dalam Perayaan Hari Besar Islam (1890-1912). Historia Madania, 6(2), 34-50. 

Wessing, R. (1992). A Tiger in The Heart: The Javanese Rampok Macan.  Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 148 (1992), no: 2, Leiden, 287-308.

Putri, Berlian Dwinda Cahyaning Maharasti. Tradisi Rampog Macan Abad ke-19 hingga Abad ke-20 di Karesidenan Kediri. Histma, 9(1), 1-19.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *